Falsafat
Hidup Kesultanan Buton
Falsafah hidup Kesultanan Buton ini
lahir pada akhir abad ke-16 M, Di masa pemerintahan Sultan La Elangi Dayanu
Ikhsanuddin (1578-1615 M). Beliau telah berhasil membuat UUD Kesultanan Buton
yaitu Martabat Tujuh beserta peraturan pemerintah lainnya. Beliau juga berhasil
membawa kesultanan Buton ke tingkat kehidupan politik, social budaya yang lebih
maju dan berkembang.
Adapun filsafat hidup Kesultanan
Buton lebih mengutamakan Agama dari segalanya yang mana urutannya itu Agama,
pemerintahan, Negara, diri sendiri, lalu yang terakhir harta. Dimana dapat
dilihat dalam kalimat berikut:
- Yinda-yindamo arataa somanamo karo (biarlah hilang harta asal diri selamat)
- Yinda-yindamo karo somanamo lipu (biarlah diri yang tersiksa asal jangan rusak Negeri)
- Yinda-yindamo lipu somanamo sara (biarlah rusak Negeri asal jangan rusak pemerintahan)
- Yinda-yindamo sara somanamo agama (biarlah rusak atau hilang pemerintahan asal agama tetap kokoh (digenggaman))
Selain filsafat itu adapula semboyan
yang dipegang oleh Kesultanan Buton yaitu tentang kesetaraan. Pobinci-bincikikuli
atau tenggang rasa, dimana semboyan ini mengajarkan kita untuk mengerti dan memahami
perasaan orang lain, karena kita adalah makhluk social yang membutuhkan satu
sama lain. Itulah semboyan yang selalu dipegang teguh dan diterapkan di
Kesultanan Buton bahkan sampai sekarang punmasyarakatnya (Kota Bau-Bau) masih
memegang teguh semboyan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar