Sabtu, 08 November 2014


Falsafat Hidup Kesultanan Buton

            Falsafah hidup Kesultanan Buton ini lahir pada akhir abad ke-16 M, Di masa pemerintahan Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615 M). Beliau telah berhasil membuat UUD Kesultanan Buton yaitu Martabat Tujuh beserta peraturan pemerintah lainnya. Beliau juga berhasil membawa kesultanan Buton ke tingkat kehidupan politik, social budaya yang lebih maju dan berkembang.
            Adapun filsafat hidup Kesultanan Buton lebih mengutamakan Agama dari segalanya yang mana urutannya itu Agama, pemerintahan, Negara, diri sendiri, lalu yang terakhir harta. Dimana dapat dilihat dalam kalimat berikut:
  • Yinda-yindamo arataa somanamo karo (biarlah hilang harta asal diri selamat)      
  • Yinda-yindamo karo somanamo lipu (biarlah diri yang tersiksa asal jangan rusak Negeri) 
  • Yinda-yindamo lipu somanamo sara (biarlah  rusak Negeri asal jangan rusak pemerintahan) 
  • Yinda-yindamo sara somanamo agama (biarlah rusak atau hilang pemerintahan asal agama tetap kokoh (digenggaman))
            Selain filsafat itu adapula semboyan yang dipegang oleh Kesultanan Buton yaitu tentang kesetaraan. Pobinci-bincikikuli atau tenggang rasa, dimana semboyan ini mengajarkan kita untuk mengerti dan memahami perasaan orang lain, karena kita adalah makhluk social yang membutuhkan satu sama lain. Itulah semboyan yang selalu dipegang teguh dan diterapkan di Kesultanan Buton bahkan sampai sekarang punmasyarakatnya (Kota Bau-Bau) masih memegang teguh semboyan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar