Bahasa Daerah Buton Selatan
mirip
Bahasa Korea?
Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis
bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Bau-Bau di selatan Pulau Buton.
Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau
menerima tulisan Hangul Korea untuk dijadikan sistem tulisan bahasa Cia-Cia. Dulunya,
bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama “Gundul” yang
tidak memakai tanda untuk bunyi vokal.
Sebenarnya Buton
sendiri memiliki bahasa dan aksara sendiri, yaitu bahasa Wolio dengan aksara
berupa hurup gundul arab. Sementara suku Pancana, Cia-cia dan Wosai hanya
memiliki bahasa saja dan tak memiliki aksara. Suku Cia-cia dengan jumlah
penduduk sekitar 80.000 jiwa tinggal di pulau Buton. mata pencaharian
mereka adalah bertanam jagung, padi dan singkong. Sebagian lagi
matapencaharian mereka adalah sebagai nelayan dan membuat kapal.
Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan
sistem penulisan yang tepat. Buton punya catatan sejarah penting sebagai pusat
penyebaran agama Islam. Bahasa Cia-cia jika ditulis dalam abjad melayu ada
banyak kalimat atau kata yang tidak bisa ditulis. Sementara jika ditulis
menggunakan aksara Arab gundul, akan berbeda makna jika setelah ditulis dan
diucapkannya. Hanya dengan aksara Hangeul Korea semua bunyi itu bisa ditulis.
Karena menghindari kepunahan dari bahasa Cia-Cia maka hurup abjad Hangeul Korea
digunakan. Abjad hanguel yang sejatinnya memiliki 28 hurup itu diperkenalkan
pertama kali oleh seorang raja Sejong The Gread di tahun 1443. Bahkan konon di
museum kerajaan korea yang terdapat dibawah tanah ada sebuah paviliun
Bau-bau yang isinya tentang suku Cia-Cia.
Namun jauh beberapa
tahun yang lalu tepatnya sejak 2008 ternyata ada sebagian warga pulau Buton
yaitu suku Cia-Cia yang akrab dengan bahasa dan tulisan korea. Bermula dari
datangnya seorang pemakalah asal Korea, Prof Chun Thay Hyun tertarik dengan
paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan
Buton ini.Dia lalu menyempatkan waktu untuk penelitian dan memilih Cia-Cia
dikarenakan wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan
pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea. Bahasa asli Cia-Cia sendiri
terancam punah bila terus dibiarkan karena tidak ada sitem penulisannya. Sehingga
Pemkot Bau-Bau bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa)
menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara.Pemerintah Kota Bau-Bau
bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga riset bahasa
Korea telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia
dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari mulai dari tingkat SD hingga SMA.
Sejak saat itulah nama Cia-Cia populer di Korea.Banyak jurnalis dari Korea dan
Jepang datang ke Bau-bau untuk meliput keantusiasan masyarakat sana akan bahasa
Korea. Itu membuat beberapa kali liputan tentang Bau-Bau diputar di televisi
internasional. Plang-plang jalan di kota Bau-Bau juga banyak yang memakai abjad
Hanguel. Beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta pihak Pemkot Bau-Bau
pernah diundang langsung ke Korea. Mereka mendemonstrasikan kemampuan
menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari
Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Haenggul. Mereka
menyempurnakan kurikulum serta menjadi pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat
Kebudayaan Korea. Warga Cia-Cia sendiri melihat itu dengan penuh kebanggaan.
Beberapa warga telah dikirim ke Korea untuk memperdalalm pengetahuan
bahasa.Tentu hal ini dapat menjadi kebanggan bagi kita warga Indonesia karena
salah satu bagian negeri ini dapat dikenal luas oleh masyarakat global atau
dapat pula menjadi pukulan bagi kita dan pemerintah khususnya yang dapat
dikatakan kurang memiliki kepedulian bagi kebudayaannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar